NAMA :
YANTI SUHESTI
NPM
: 39113396
KELAS :
2DB04
DOSEN WIDIO
PURWANI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN #
OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA
Latar Belakang
a.
Dasar Hukum
1.
Undang –Undang Dasar 1945 , Pasal(18).
Pembagian
daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya,ditetapkan
dengan undang –undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan
dalam system pemerintahan Negara,dan hak –hak asal usul dalam daerah yang
bersifat istimewa.
Dalam penjelasan Pasal 18 tersebut ,menyatakan bahwa:
1. Oleh
karena Negara Indonesia itu suatu eenheidstaat,maka indaonesia tak akan
mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
2.
Di daerah –daerah yang bersifat otonom(streek dan
local rehtgemenschappen) atau bersifat daerah administrasu beldea, semuanya
menurut aturan yang berlaku ,yang ditetapkan dengan undang –undang .
3. Di
daerah –daerah yang bersifat otonom akan diadakan perwakilan daerah,karena di
daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
2.
Undang –Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok –pokok pemerintahan di daerah
(pasal 11).
1. Titik berat otonom daerah diletakkan pada daerah
tingkat II.
2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) pasal ini
diatur dengan peraturan pemerintahan.
Dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan,maka undang –undang ini meletakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II lah yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih memahami dan memenuhi aspirasi –aspirasi masyarakat tersebut.
3. Peraturan Pemerintahan Nomor 45 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan Titik Berat pada Daerah Tingkat II( pasal 2 dan pasal 20).
Pasal
2, titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat I kepada Pemerintahan Daerah
Tingkat II secara bertahap dan berkelanjutan.
Pasal
20, pembinaan umum oleh menteri dalam negeri ,pembinaan teknis oleh menteri
atau lembaga pemerintahan non –departemental yang bersangkutan serta pembinaan
operasional oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
4. Selanjutnya dalam pelaksanaan pada butir 3 tersebut di atas dikeluarkan pula:
a) Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 105 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Proyek
Percontohan Otonomi Daerah pada Daerah Tingkat II.
b) Peraturan pemerintahan Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyerahan Sebagaian Urusan Pemeritahan kepada 26 (dua puluh enam )Daerah Tingkat II Percontohan.
c) Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1996.
d) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 178 Tahun 1996 tentang Percontohan Otonomi Daerah pada Kabupaten /Kotamadya Daerah Tingkat II.
e) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 194 Tahun 1996 tentang Perubahan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 178 Tahun 1996 tentang Percontohan Otonomi Daerah pada Kabupaten /Kotamadya Daerah Tingkat II.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat,1985).Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi sesuai yang dibutuhkan daerah maka dapat dikatakan bahwa daerah sudah berdaya (mampu) untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dan paksaan dari pihak luar dan tentunya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1. F. Sugeng
Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh,
berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pembangunan Daerah dalam Garis –Garis
Besar Haluan Negara
Dalam
Ketetapan MPR RI Nomor II / MPR /1993 tentang Garis –Garis Besar Haluan Negara
antara lain disebutkan :
a) Pembangunan Jangka Panjang Kedua
Pembangunan
daerah sebagai bagian integral pembangunan nasional telah makin mendorong dan
meningkatkan stabilitas, pemerataan ,pertumbuhan dan mengembangkan daerah serta
ikut berperan dalam kesejahteraan masyarakat. Peningkatkan upaya pembangunan
daerah harus senantiasa didasarkan pada otonomi yang nyata ,dinamis serasi dan
bertanggung jawab dalam rangka lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam
pembangunan dan hasil –hasilnya di seluruh tanah air.
b) Arah Pembangunan Jangka Panjang Kedua
Pembangunan
daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan
hasil
–hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat , menggalakkan
prakarsa dan peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayangunaan potensi
daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomidaerah yang nyata
,dinamis ,serasi dan bertanggung jawab serasi dan bertanggung jawab serta
memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam upaya pemerataan pembangunan
diseluruh wilayah tanah air,pembangunan daerah dan kawasan yang kurang
berkembang seperti di wilayah timur Indonesia daerah terpencil dan daerah
perbatasan perlu ditingkatkan sebagai perwujudan wawasan nusantara.
c) Sasaran Bidang Pembangunan Pelita VI
Terselenggaranya
otonomi daerah yang nyata ,dinamis serasi dan bertanggung jawab dan seterusnya
.
d) Kebijaksanaan Pembangunan Pelita VI
Pembanguanan
otonomi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan amanat
Undang
–undang dasar 1945 diarahkan untuk lebih mengembangkan dan memacu pembangunan
daerah,memperluas peran serta masyarakat,serta lebih meningkatkan pemerataan
pembangunan dan hasil –hasilnya dengan memperhatikan kemungkinan pengembangan
dan pemanfaat potensi daerah ,dan secara saling mendukung dengan kemampuan
nasional.Pelaksanaan otonomi daerah ditujukan pada kewajiban otonomi daerah
yang nyata ,dinamis serasi,dan bertanggung jawab.
e) Dan lain –lain
Sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah.
Tujuan Pembangunan Otonomi Daerah
a) Efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah (mangkus
dan sangkil) berdaya guna dan berhasil guna.
b) Dalam
rangka lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
c) Pembangunan
kestabilan politik dan dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa
(pembauran).
d) Dalam
rangka peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Prinsip –Prinsip Otonomi Daerah
a) Yang
nyata, berarti urusan pemerintahan yang benar –benar sesuai dengan kebutuhan
pembangunan.
b) Dinamis,
berarti sesuai dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
c) Serasi,
berarti urusan dilaksanakan sesuai dengan arah ,dan kebijaksanaan pemerintahan
pusat /nasional.
d) Bertanggung
jawab ,berarti tidak bertentangan dengan peraturan perundang –undangan yang ada
dan berlaku.
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan
Undang-Undang tersebut. Termasuk diharapkannya penerapan otonomi daerah karena
kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di jakarta.
Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Disamping itu
pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata di setiap daerahnya.
Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, seperti:Aceh,
Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan dan Sulawesi ternyata tidak menerima
perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat serta kesenjangan sosial antara
satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.
Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di
daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini
menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung
menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau
sebagai pelaku pinggiran. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik,
yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa
dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus
dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat
dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa.
Dengan kewenangan yang didapat daerah dari pelaksanaan Otonomi
Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Beberapa contoh keberhasilan dari berbagai daerah dalam
pelaksanaan otonomi daerah yaitu:
1. Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, masyarakat lokal dan LSM yang mendukung telah berkerja sama dengan dewan setempat untuk merancang suatu aturan tentang pengelolaan sumber daya kehutanan yang bersifat kemasyarakatan (community-based). Aturan itu ditetapkan untuk memungkinkan bupati mengeluarkan izin kepada masyarakat untuk mengelola hutan milik negara dengan cara yang berkelanjutan.
2. Di Gorontalo, Sulawesi, masyarakat nelayan di sana dengan bantuan LSM-LSM setempat serta para pejabat yang simpatik di wilayah provinsi baru tersebut berhasil mendapatkan kembali kontrol mereka terhadap wilayah perikanan tradisional/adat mereka.
Kedua
contoh di atas menggambarkan bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah dapat membawa
dampak positif bagi kemajuan suatu daerah. Kedua contoh diatas dapat terjadi
berkat adanya Otonomi Daerah di daerah terebut. Pada tahap awal pelaksanaan
Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak
sabar ingin agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, untuk
suara kontra bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya, mereka
pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah pertama kali diberlakukan. Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar
1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah;
b. bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah;
c. bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Mengingat
:
1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG
TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.
b. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah.
d. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
e. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAGIAN DAERAH
Pasal
2
(1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.
(2) Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
Pasal 3
Wilayah Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
BAB III
PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN DAERAH
Pasal 4
(1) Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
(2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Pasal 5
(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi Daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas Daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang.
(3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahan nama Daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan Daerah lain.
(2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah.
(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
KEWENANGAN DAERAH
Pasal 7
(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Pasal 8
(1) Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
(2) Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
Pasal 9
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
(2) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
(3) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pasal 10
(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi:
a. eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
b. pengaturan kepentingan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah; dan
e. bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Pasal 12
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
(2) Setiap penugasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 14
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya.
Bagian Kedua
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 15
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 16
(1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
(2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Pasal 17
(1) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi dan panitia-panitia.
(3) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD.
(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 18
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a. memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;
b. memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;
c. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota;
d. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;
e. bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
f. melaksanakan pengawasan terhadap:
1. pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;
2. pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
3. pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
4. kebijakan Pemerintah Daerah; dan
5. pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah;
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 19
(1) DPRD mempunyai hak:
a. meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;
b. meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah;
c. mengadakan penyelidikan;
d. mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;
e. mengajukan pernyataan pendapat;
f. mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;
g. menentukan Anggaran Belanja DPRD; dan
h. menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 20
(1) DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan pembangunan.
(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD.
(3) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 21
(1) Anggota DPRD mempunyai hak:
a. pengajuan pertanyaan;
b. protokoler; dan
c. keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD.
Pasal
22
DPRD
mempunyai kewajiban:
a. mempertahankan dan
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta mentaati segala peraturan
perundang-undangan;
c. membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
Pasal 23
(1) DPRD mengadakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya enam kali dalam setahun.
(2) Kecuali yang dimaksud pada ayat (1), atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota atau atas permintaan Kepala Daerah, Ketua DPRD dapat mengundang anggotanya untuk mengadakan rapat selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan setelah permintaan itu diterima.
(3) DPRD mengadakan rapat atas undangan Ketua DPRD.
Pasal 24
Peraturan Tata Tertib DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
Pasal 25
Rapat-rapat DPRD bersifat terbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan tertutup berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD atas atas kesepakatan di antara pimpinan DPRD.
Pasal
26
Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai:
a. pemilihan Ketua/Wakil Ketua DPRD;
b. pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
c. pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan daerah;
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
e. penetapan perubahan dan penghapusan pajak dan retribusi;
f. utang piutang, pinjaman dan pembebanan kepada Daerah;
Pasal 27
Anggota DPRD tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan dan atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika yang bersangkutan mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 28
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota, kecuali jika yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan.
(2) Dalam hal anggota DPRD tertangkap tangan melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya dalam tempo 2 kali 24 jam diberitahukan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur.
Bagian Ketiga
Sekretariat DPRD
Pasal 29
(1) Sekretariat DPRD membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.
(2) Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas persetujuan pimpinan DPRD.
(3) Sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada pimpinan DPRD.
Bagian Keempat
Kepala Daerah
Pasal 30
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D , Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D , Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310);
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 2
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.
(2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Pasal 3
(1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
a.
pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas
pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi;
b.
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas
pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
(2) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala daerah dan perangkat daerah.
BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Pembentukan Daerah
Pasal 4
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 5
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
(2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
(1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah yang bersangkutan.
Pasal 8
Tata cara
pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Kawasan Khusus
Pasal 9
(1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undang-undang.
(3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.
(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemerintah.
(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 10
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a.
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan
pemerintahan;
b.
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c.
menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan
daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antarpemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan
dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan
pengendalian pembangunan;
b. perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana
dan prasarana umum;
e. penanganan bidang
kesehatan;
(2) Urusan pemerintahan
provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara
nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan
pengendalian pembangunan;
b. perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana
dan prasarana umum;
e. penanganan bidang
kesehatan;
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pemberian
sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah;
b.
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan
daerah; dan
c.
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada
pemerintahan daerah.
(2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b.
pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung
jawab bersama;
c.
pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dan
d.
pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.
(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. kewenangan, tanggung jawab, dan
penentuan standar pelayanan minimal;
b. pengalokasian pendanaan
pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah; dan
c. fasilitasi pelaksanaan kerja
sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum.
(2) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan bidang pelayanan
umum yang menjadi kewenangan daerah;
b. kerja sama antarpemerintahan
daerah dalam penyelenggaraan pelayanan umum; dan
c. pengelolaan perizinan bersama
bidang pelayanan umum.
(3) Hubungan dalam bidang pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
kewenangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan
pelestarian;
b. bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c. penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
(2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a. pelaksanaan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan
daerah;
b. kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antarpemerintahan daerah; dan
c. pengelolaan perizinan bersama
dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut;
b. pengaturan administratif;
c. pengaturan tata ruang;
d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi dimaksud.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pemerintahan
Pasal 19
(1) Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil Presiden, dan oleh menteri negara.
(2)
Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Bagian Kedua
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas:
a. asas kepastian hukum;
b. asas tertib penyelenggara negara;
c. asas kepentingan umum;
d. asas keterbukaan;
(2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah mengguna-kan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban
Daerah
Pasal
21
Dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. memilih pimpinan daerah;
c. mengelola aparatur daerah;
Pasal
22
Dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. mewujudkan keadilan dan pemerataan;
Pasal
23
(1)
Hak
dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam
bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah.
(2) Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pemerintah Daerah
Paragraf Kesatu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 24
(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut Gubernur, untuk
kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.
(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang wakil kepala daerah.
Tugas dan Wewenang serta Kewajiban
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 25
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.
mengajukan rancangan Perda;
c.
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan
bersama DPRD;
d.
menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD
kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
Pasal 26
(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a.
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah;
b.
membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan
kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan
hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan
pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan
lingkungan hidup;
c.
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(3) Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:
a.
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c.
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 28
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a. membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
b. turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c. melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang bersangkutan;
Paragraf Keempat
Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 29
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri; atau
b. permintaan sendiri; atau
c. diberhentikan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang
baru;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
c. tidak lagi memenuhi syarat
sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah;
(3) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
(4) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
diusulkan kepada Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD
bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan
wakil kepala daerah;
b. Pendapat DPRD sebagaimana dimaksud pada huruf a diputuskan melalui Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
c. Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
Pasal 30
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Keterangan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah terdiri dari 411 Pasal. Diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
Konsiderans
UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Konsiderans merupakan landasan pertimbangan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang memuat landasan filosofis, sosiologis dan landasan yuridis. Dengan melihat konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, maka dapat diketahui dasar-dasar pertimbangan pembentukan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Konsiderans UU Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah berbunyi sebagai berikut:
- Huruf a : bahwa sesuai dengan Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang.
- Huruf b : bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Huruf c : bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
- Huruf d : bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti.
REFERENSI :
Prof.Drs.H.A.W., Percontohan Otonomi
Daerah Di Indonsesia,Penerbit PT RINEKA CIPTA,Jakarta ,1998.
Priyanto, Sugeng. Pendidikan
Kewarganegaraan. Semarang:Aneka Ilmu. 2008.
Srijanti, dkk. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta: Graha Ilmu. 2009.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UNDANG2/uu/22_99.htm
diambil pada tanggal 26/04/2015 pukul 15:00.
http://raja1987.blogspot.com/2009/12/pelaksanaan
-otonomi-daerah.html
diambil pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 10.57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar